Kamis, 10 Oktober 2013

Penentuan Struktur Terpenoid Dari Isolat Buah Andaliman(Zanthoxylum acanthopodium DC.)



Struktur senyawa isolat dianalisis dengan menggunakan spektroskopi infra merah (IR), GC-MS, NMR 1 dimensi (1H-NMR dan 13C-NMR), NMR 2 dimensi meliputi DEPT, 1H-1H COSY, 1H-13C CHSHF, 1 dan H-13C HMBC.
 
Metode Identifikasi  secara  Spektrofotometri  
Spektroskopi adalah studi mengenai antaraksi energi cahaya elektromagnetik  dengan  senyawa organik  yang  dikenal  dengan  metode  fisikokimia.  Panjang  gelombang  yang  diperoleh  bila  senyawa  organik  menyerap  cahaya,  bergantung  pada struktur senyawa organik tersebut. Setiap senyawa organik akan menyerap  energi gelombang elektromagnetik yang berbeda.  
Spektrofotometri  Ultraviolet-Tampak
Penyerapan sinar ultra violet dan sinar tampak oleh suatu molekul organik  akan  menghasilkan  transisi  di  antara  tingkat  energi  elektronik  pada  molekul.  Transisi  tersebut  umumnya  antara  orbital  ikatan  atau  obital  pasangan  elektron  bebas ke orbital anti ikatan.  Spektrum tampak terletak antara 400 nm (ungu) – 750 nm (merah), sedangkan ultraviolet pada panjang gelombang 200-400 nm.   Untuk keperluan elusidasi struktur, kegunaan spektrofotometri ini terletak  pada kemampuannya mengukur jumlah ikatan rangkap atau konjugasi aromatik di  dalam  suatu  molekul  dan  dapat  membedakan  diena  terkonjugasi  dari  diena  tak  terkonjugasi. Letak serapan dapat dipengaruhi oleh subtituen dan terutama yang  berhubungan dengan subtituen (auksokrom) yang menimbulkan pergeseran dalam  diena  terkonjugasi,  senyawa  aromatik,  dan  karbonil  terkonjugasi.  Penggunaan pelarut  yang  berbeda  juga  dapat  mempengaruhi  pergeseran  letak  dan  intensitas  suatu  serapan,  dapat  menyebabkan  terjadinya  pergeseran  batokromik  atau hipsokromik.
 Spektrofotometri  Infra Merah
 Spektrum  infra  merah  suatu  molekul  adalah  hasil  transisi  antara  tingkat  energi getaran (vibrasi) yang berlainan. Tiap senyawa organik memiliki serapan yang khas pada daerah sidik jari  (1400-800 cm-1). Meskipun begitu, daerah sidik  jari  haruslah  cocok  dengan  daerah  gugus  fungsi  agar  dapat  disimpulkan  bahwa senyawa itu identik.  Tipe  ikatan  yang  berlainan  menyerap  radiasi  infra  merah  pada  panjang  gelombang yang berlainan pula. Dengan demikian, spektrofotometri infra merah  dapat  digunakan  untuk  mengidentifikasi  adanya  gugus  fungsi  dalam  suatu  molekul.  Pita-pita  infra  merah  dalam  sebuah  spektrum  dapat  dikelompokkan  menurut intensitasnya, kuat (s), medium (m), dan lemah (w).
 Spektrofotometri Massa
Ion  organik  yang  dihasilkan  oleh  penembakan  elektron  berenergi  tinggi  terhadap sebuah  molekul organik bersifat tidak stabil dan pecah menjadi fragmen kecil,  baik  berbentuk  radikal bebas  maupun  ion-ion  lain.  Dalam  sebuah  spektrometer massa yang khas, fragmen yang bermuatan positif ini akan dideteksi.  Spektrum massa adalah alur kelimpahan jumlah relatif fragmen bermuatan  positif berlainan versus massa per muatan  (m/z atau m/e) dari fragmen-fragmen  tersebut.  Muatan  ion  dari  kebanyakan  partikel  yang  dideteksi  dalam  suatu spektrometer massa adalah +1;  maka nilai  m/z sama dengan massa molekulnya  (M).  Struktur  dan massa  fragmen  memberikan  petunjuk  mengenai  struktur  molekul induknya dan petunjuk bobot molekul suatu senyawa.  Spektrum massa dipaparkan sebagai grafik batangan. Setiap puncak dalam spektrum  menyatakan  suatu  fragmen  molekul.  Fragmen-fragmen  disusun  sedemikian rupa sehingga puncak-puncak ditata menurut kenaikan m/z dari kiri ke  kanan dalam spektrum. 
Spektrofotometri Resonansi Magnet Inti
Resonansi magnet inti (RMI atau NMR) berhubungan dengan sifat magnet  dari  inti  atom. Spektroskopi  NMR  didasarkan  pada  penerapan  gelombang  radio  oleh  inti  tertentu  dalam molekul  organik.  Dari  spektra  resonansi  magnet  inti  proton  (1H-NMR)  akan  diperoleh  informasi  tentang  jenis  hidrogen,  jumlah  hidrogen,  dan  lingkungan  hidrogen  dalam  suatu  senyawa,  begitu  juga  halnya  dengan  spektra  resonansi  magnet  inti  karbon  (13 C-NMR). Spektrum  RMI  dua  dimensi  digunakan  untuk  penentuan  struktur  molekul/senyawa  yang  lebih
kompleks.
Hasil Percobaan
Senyawa ZAB-1 berbentuk kristal berwarna putih dengan titik leleh 128-130  ºC,  memiliki  Rf  0,75 pada  KLT  dengan  fase  gerak  diklorometana-metanol  7:3.  Analisis spektrum UV-Vis senyawa ZAB-1 memberikan serapan maksimum  pada  209,  282,  dan  390  nm.  Adanya  tiga  buah  serapan  maksimum  tersebut  menunjukkan bahwa senyawa ZAB-1 memiliki gugus kromofor. 

Data IR pada Gambar 4.18 memberikan pita serapan yang tajam dengan  intensitas  yang  kuat  pada  bilangan  gelombang  3649,44  cm-1 dan  agak  melebar  dengan  intensitas  sedang  pada  daerah  bilangan  gelombang  3500-3300  cm-1 menunjukkan bahwa senyawa ZAB-1 memiliki gugus OH bebas dan gugus OH terikat.  Adanya  pita  serapan  pada  bilangan  gelombang  2933,83  cm-1 dengan  intensitas  medium  menunjukkan  adanya  gugus  –CH 2   yang  diperkuat  dengan  adanya  serapan  pada  bilangan  gelombang  1456,30  cm-1.   Senyawa  ZAB-1  juga  memperlihatkan  serapan  pada  bilangan  gelombang  1541,18  dan  1558,54  cm-1 yang menunjukkan adanya C=C aromatis dan pita serapan pada daerah bilangan  gelombang 1000-1300 cm-1  yang menunjukkan adanya ikatan eter. Data   1H-NMR  (CDCl 3 ,  400  MHz)  dari  senyawa  ZAB-1  menunjukkan terdapat dua singlet pada δ H  0,68 dan 1,01; yang diduga merupakan gugus metil  pada  C-32  dan  C-19  (Lampiran  8).  Doblet  pada  pergeseran  kimia  0,82  dan  0,96 ppm dihubungkan dengan adanya gugus metil pada C-35 dan C-33. Gugus  metil lainnya ditunjukkan pada pergeseran kimia 0,85 dan 0,81 ppm pada C-21  dan C-18.  Sementara itu proton aromatis ditunjukkan oleh adanya sinyal doblet  pada   δ H  6,79 ( 1H, d, J = 1,6 Hz) yang terkopling orto dengan sinyal singlet pada  δ H  6,81 pada posisi C-1 dan C-2. Sinyal singlet menunjukkan bahwa di sebelah  sinyal  proton  tersebut  atom  karbonnya  tidak  memiliki  proton  dan  ini  diperkuat dengan  adanya  atom  C  kuartener  pada  posisi  C-3.  Sinyal  doblet  menunjukkan adanya  atom  karbon  tetangga  yang  memiliki  1  atom  proton. 
Hasil  pengukuran 13C1H-COSY  (CHSHF)  senyawa  ZAB-1  memperlihatkan  adanya  korelasi langsung  antara  proton  pada  δ H   4,25  dengan  karbon  pada  δc  71,82  ppm,  δ H  3,8  dengan  δc  71,73  ppm,    δ H   4,720  dengan  δc  85,80 ppm, δ H  5,36 dengan δc 121,71 ppm, dan δ H  5,95 dengan δc 101,06 ppm.  Korelasi  antara  proton  dan  karbon  lainnya  ditunjukkan  di  Lampiran  7.  Hasil  analisa 1H-1H-COSY menunjukkan korelasi antara proton-proton yang berdekatan  yakni antara δ H  0,96 dengan δ H  1,35 ppm, δ H  4,25 dengan δ H  3,85 ppm,  δ H  0,85  dengan  δ H  1,71 ppm, δ H  1,15 dan 1,01 dengan δ H  2,02 ppm (Lampiran 12). Data spektrum HMBC dari senyawa ZAB-1 (Lampiran 13) menunjukkan  korelasi  tidak  langsung  antara  proton  dan  karbon  yang  ada  di  dekatnya  yakni  antara proton pada δ H  6,84 dengan karbon pada δc 140,79 ppm, δ H  0,97 dengan  karbon pada δc 138,3 ppm, δ H  0,85 dengan karbon pada δc 29,21 ppm, δ H  2,28  pada  δc  129,32  ppm,  δ H   0,82  dengan  karbon  pada  δc  121,71  dan  129,32  ppm,  δ H  1,01 dengan  δc 36,52, δ H  1,03 dengan  δc 40,46, δ H  5,36 dengan karbon pada  δc 42,43 ppm, δ H  4,25 dan 3,85 dengan karbon pada δc 85,80 ppm, serta δ H  5,95 dengan karbon pada δc 31,93 dan 71,73 ppm. Korelasi HMBC senyawa ZAB-1  dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Fragmentasi  yang  diduga  terjadi  karena  pemutusan  rantai  samping  yang  terikat dengan rantai siklik menghasilkan ion dengan m/z 269. Pemutusan rantai  metil pada rantai  samping selanjutnya serta pemutusan rantai metil pada sistem  cincin  steroid  menghasilkan  ion  dengan  m/z  255.  Fragmentasi  tersebut  ditunjukkan  pada  Gambar  4.2.  Fragmentasi  yang  menghasilkan  ion  m/z  160  diduga  terjadi  karena  pemutusan  cincin  aromatik  A  dan  cincin  B  dari  molekul.  Prediksi  fragmentasi  lainnya  adalah  dari  pemutusan  rantai  samping  yang  mengandung  ikatan  eter  dan  hidroksil  dari  sistem  cincin  sterol  dengan  menghasilkan ion m/z 145. Fragmentasi yang menghasilkan ion  m/z 92 diduga  berasal  dari  pemutusan  fenol.  Analisis  fragmentasi  ZAB-1  dapat  dilihat  pada  Gambar 4.3  
Dari  hasil  analisa 1H-NMR, 13C-NMR,  DEPT  dan  spektrum  massa  dari senyawa ZAB-1 yang memberikan puncak pada m/z 536 yang diduga merupakan bobot molekul, diperkirakan senyawa ZAB-1 memiliki rumus molekul C 35 H 54 O 4 . Dengan  adanya  beberapa  gugus  hidroksil  yang  dimiliki,  ZAB-1  merupakan  senyawa  hidroksi  eter  sterol  dengan  cincin  aromatik  dan  dapat digolongkan  ke  dalam  senyawa  terpenoid  polar  dengan  nama  senyawa  17-((23E,26E)-23-etiliden-29-hidroksi-29-(2-hidroksipropoksi)-25-metildek-26-en-20-il)-13,15-dimetil-gona-1,3,5(10)-trien-3-ol.

Permasalahan:
Dari metode analisi untuk penentuan struktur masing-masing senyawa metabolit sekunder di analisis berdasarkan pita serapan . Dari masing-masing senyawa punya pita serapan yang berbeda. Nah pita serapan yang berbeda dari masing-masing senyawa ini kan pasti ada sebabnya kenapa  pada gelombang pita serapan itu dapat berbeda? Misalnya, untuk gugus fungsinya senyawa A pada gelombang 20 nm sedangkan untuk rantai rangkapnya berbeda lagi yaitu sebesar 80 nm.

Jumat, 04 Oktober 2013

Uji Bioaktivitas Senyawa Terpenoid Pada Tumbuhan Pare Belut Sebagai Antijamur




Senyawa  terpenoid  terdiri  atas  beberapa  unit  isoprene, mempunyai struktur siklik dengan satu atau lebih gugus fungsional berupa gugus hidroksil dan gugus karbonil (Rusdi, 1988). Secara  kimia  terpenoid  larut  dalam  lemak  dan  terdapat  di  dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya terpenoid diekstraksi dari jaringan tumbuhan  dengan memakai eter atau kloroform, dan dapat dipisahkan secara kromatografi  pada silika gel atau alumina menggunakan pelarut eter atau kloroform (Harborne, 1996).
 Kebanyakan  peneliti  berpendapat  bahwa  fungsi  terpenoid  rendah  dalam  tumbuhan,  lebih  bersifat  ekologi  daripada  fisiologi.  Banyak  senyawa  ini  yang menghambat  pertumbuhan  tumbuhan  pesaingnya  dan  dapat  bekerja  sebagai  insektisida  atau  berdaya  racun  terhadap  hewan  tinggi  (Robinson,1995).  Contoh  senyawa  yang  termasuk  terpenoid  dapat  dilihat  pada  Gambar  4.  Salah  satu  senyawa  terpenoid  yang  mempunyai  aktivitas  antijamur  adalah  (R)-6-[(Z)-1- heptenil]-5,6-dihidro-2H-piran-2-one yang diisolasi dari Hyptis ovalifolia Benth.  Senyawa  ini  menunjukkan  aktivitas  antijamur  secara  in  vitro  terhadap Microsporum  canis,  Microsporum  gypseum,  Tricophyton  mentagrophytes,  dan Tricophyton rubrum.
 Metode Pengujian Aktivitas Antijamur
Prinsip  umum  dalam  menentukan  aktivitas  antijamur  adalah  dengan  melihat  adanya  hambatan  pertumbuhan  jamur.  Zat  antijamur  dapat  diperoleh  dari  hasil  fermentasi,  sintetik,  dan  dari/hasil  isolasi  tanaman.  Metode  untuk  pengujian  antijamur adalah metode difusi agar. Metode ini dibagi menjadi tiga yaitu metode  lubang, metode gores silang dan metode cakram kertas.
a. Metode Lubang/Perforasi
Jamur  uji  yang  umurnya  18-24  jam  disuspensikan  ke  dalam  media  agar pada  suhu  sekitar  45°C.  Suspensi  jamur  dituangkan  ke  dalam  cawan  petri  steril. Setelah  agar  memadat,  dibuat  lubang-lubang  dengan  diameter  6  mm  kemudian dimasukkan  larutan  zat  yang  akan  diuji  aktivitasnya  sebanyak  20µL  dan  diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Aktivitas antijamur dapat dilihat dari  daerah bening yang mengelilingi lubang perforasi(Anonim, 1993).
b.  Metode Gores Silang
Zat  yang  akan  diuji  diserapkan  ke  dalam  kertas  saring  dengan  cara  meneteskan pada kertas saring kosong larutan antijamur sejumlah volume tertentu  dengan  kadar  tertentu.  Kertas  saring  tersebut  diletakkan  di  atas  permukaan  agar  padat,  kemudian  digores  dengan  suspensi  jamur  90%  pada  agar  melalui  kertas  saringnya, diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C. Aktivitas antijamur dapat  dilihat  dari  daerah  bening  yang  tidak  ditumbuhi  jamur  dekat  kertas  saring
c. Metode Cakram Kertas
Zat  yang  akan  diuji  diserapkan  ke  dalam  cakram  kertas  dengan  cara  meneteskan  pada  cakram  kertas  kosong  larutan  antijamur  sejumlah  volume  tertentu dengan kadar tertentu pula. Cakram kertas diletakkan di atas permukaan  agar padat yang telah dituangkan jamur sebelumnya. Cawan petri diinkubasi pada  suhu 30°C selama 2 sampai 4 hari. Aktivitas antijamur dapat dilihat dari daerah  hambat di sekeliling cakram kertas.    
Percobaan Pengujian Aktivitas Antijamur Ekstrak Metanol
Ekstrak metanol kental yang didapatkan dari ekstraksi maserasi, kemudian  dilakukan pengujian aktivitas antijamur untuk mengetahui apakah ekstrak metanol  mempunyai aktivitas antijamur atau tidak. Uji aktivitas antijamur ekstrak methanol  dilakukan terhadap jamur C. albicans, Tricophyton sp, A. niger dan M. gypseum.  Penelitian menggunakan  2  metode  yaitu, metode difusi agar  yang diberi  lubang  (metode  perforasi)  dengan  diameter  lubang  6  mm  untuk  C.  albicans  karena pertumbuhan jamur ini merata pada media agar dan hifa yang dimiliki oleh jamur  C. albicans ini pendek, sedangkan untuk jamur uji  A. niger, Tricophyton .sp dan  M.  gypseum  menggunakan  metode  gores  silang,  karena  pertumbuhan  jamur  ini  tidak  merata  pada  bagian  media  agar  dan  mempunyai  hifa  yang  panjang.
Penelitian ini menggunakan 4 jamur uji dengan tujuan untuk mengetahui ekstrak  metanol tersebut positif  sebagai  antijamur  terhadap semua jamur uji atau hanya  terhadap jamur tertentu saja.  Ekstrak  metanol  tersebut  dibuat  beberapa  konsentrasi  dengan  melarutkannya  dalam  pelarut  Dimetil  Sulfoksida  (DMSO).  DMSO  digunakan  sebagai  pelarut  untuk  kontrol  negatif,  karena  DMSO  merupakan  pelarut  polar  aprotik, tidak berwarna yang dapat melarutkan senyawa polar dan nonpolar yang  mempunyai  range  luas  dari  pelarut  organik    seperti  halnya  air  dan  tidak  mempunyai  aktivitas  biologi.  Titik  didihnya  tinggi  sehingga  menguap  secara  perlahan  pada  tekanan  udara  normal  dan  titik  bekunya  juga  tetap  tinggi   dan  DMSO  tidak  aktif  sebagai  antijamur  yang  telah  dilakukan dan dibuktikan dalam penelitian Harliana, 2006.
Pembahasan
Ekstrak  metanol aktif menghambat pertumbuhan jamur C. albicans. Ekstrak metanol tidak aktif menghambat pertumbuhan jamur A. niger, Tricophyton sp, dan M. gypseum. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya daerah bening.  Penelitian  Harliana  menunjukkan  bahwa  ekstrak  metanol  pare  belut dapat menghambat  pertumbuhan jamur C. albicans sedangkan untuk ketiga  jamur  lainnya  tidak  dapat  menghambat  pertumbuhan  jamurnya,  sehingga  untuk  selanjutnya dilakukan uji antijamur hanya terhadap jamur C. albicans saja.
Permasalahan:
Dari artikel di atas, bagaimanakah cara kerja senyawa terpenoid dalam tumbuhan pare sehingga dapat menjadi antijamur? Apakah dalam melawan jamur senyawa terpenoid ini bekerja secara spesifik hanya pada jamur itu sendiri atau dapat mempengaruhi gangguan-gangguan tubuh yang lain?